Untaian Filosofi pada Kain Songket Sidemen

Tenun adalah warisan budaya nan adiluhung. Ada ungkapan filosofi sarat nilai yang tersirat dalam setiap bentang karya tenun. Seperti halnya tenun songket yang dapat dijumpai di Desa Sidemen, Kabupaten Karangasem, Bali. Masyarakat Pulau Dewata lazim menggunakan kain songket pada momen-momen istimewa. Seperti saat upacara potong gigi, pernikahan, wisuda, atau ketika ada gelaran upacara besar lain. Akan tetapi, mengingat harganya yang terbilang tinggi, pengguna kain songket biasanya hanya kalangan tertentu saja. Zaman dahulu malah yang menggunakan kain songket hanya dari kalangan keluarga kerajaan saja. Kain songket khas Sidemen Bali, selama ini menjadi ‘trade mark’ dan memiliki gengsi tersendiri di kalangan pencinta kain tradisional, sehubungan proses penciptaannya yang serba ‘handmade’ dan mempunyai corak motif istimewa. Seperti motif anyaman, bulan kayonan, wayangan, atau merak, serta menggunakan benang katun beraneka warna, atau benang emas dan perak. Salah seorang pemilik usaha tenun endek dan songket di Sidemen, Gusti Ayu Trisnawati menyatakan, belakangan peminat kain songket mulai bergeliat seiring adanya Peraturan Gubernur Bali Nomor 99 Tahun 2018 tentang Pemasaran dan Pemanfaatan Produk Pertanian, Perikanan dan Industri Lokal Bali. “Dulu sering agak sulit memasarkan kain songket. Kan harganya termasuk mahal, mulai dari Rp 1,5 juta hingga belasan juta. Kami jadi susah mau memproduksi kontinyu, karena proses pembuatan songket memakan waktu 4-6 minggu. Berabenya, setelah jadi selembar kain, belum tentu dapat terjual dengan cepat karena harga yang dianggap pembeli terlalu mahal. Namun setelah adanya Pergub tersebut, kesadaran masyarakat untuk menggunakan kain asli karya perajin lokal mulai meningkat,” ujar Gusti Ayu, pemilik usaha Tenun Trisna yang berlokasi di Desa Talibeng, Kecamatan Sidemen, Kabupaten Karangasem. Strategi pemasaran yang selama ini dipergunakan Gusti Ayu untuk mendongkrak penjualan kain tenun tradisional ialah melalui pameran dan media sosial. Sejumlah kegiatan yang pernah diikuti Tenun Tisna ialah event Pesta Kesenian Bali (PKB), serta beberapa pameran di Jakarta dan kota besar lain di Indonesia. “Sebenarnya, keluarga kami menjalankan bisnis kain tradisional ini tidak semata-mata mengejar nilai finansial belaka. Upaya pelestarian budaya dan tradisi, juga menjadi spirit yang membuat kami tetap mempertahankan usaha kain ini. Awalnya susah payah memasarkan produk kain endek dan songket, karena dibilang harganya mahal. Syukurnya sekarang permintaan telah rutin dari toko kain di Denpasar dan kabupaten lain di Bali,” kata Gusti Ayu dengan mimik wajah sumeringah. Seiring makin bergeliatnya kain songket di masyarakat, Gusti Ayu pun terinspirasi menciptakan jenisjenis motif baru sebagai variasi dalam berkarya. “Namun motif tradisional tetap akan kami produksi sehingga terjaga kelestariannya,” ujar istri dari Gusti Ngurah Suamba itu. (VI)