I Gede Agus Mertayasa: Lebih Nyaman Melukis Tradisi

Bakat melukisnya telah ia sadari sejak kecil. Kini karyanya dikoleksi kalangan pengusaha, gubernur hingga Menteri.

BAGI I Gede Agus Mertayasa, melukis bukan hanya sekadar bakat, namun telah menjadi pilihan hidupnya. Bakat melukis telah ia sadar sejak dini. “Agus memang hobi corat-coret dari kecil dulu. Semasa sekolah TK, Agus sudah mulai suka menggambar,” tutur Agus. Bakat melukis itu makin dimantapkannya setamat SMP. Belajar melukis secara otodidak, Agus kemudian memposting karyakaryanya di media sosial. Sampai kemudian datang seorang pelukis asal Jimbaran bernama Wayan Rudita. Ia membimbing Agus sejak 2016 hingga 2018.

Ketika mengikuti Pameran IKM Bali Bangkit 2022 di Taman Budaya Provinsi Bali, Agus bertemu dengan Bapak Kapolri dan memborong semua lukisan karya Agus. Selain itu, Bapak Kapolri juga meminta Agus
melanjutkan pendidikan formal. “Tetapi karena kondisi Agus seperti ini, jadi tidak memungkinkan Agus untuk melanjutkan sekolah lagi,” ujar Agus. Oleh karena itu, Agus lebih memilih menekuni seni lukis dengan mendatangkan dosen ISI Denpasar yang bernama Agung Jaya untuk membimbingnya, memperdalam seni lukis terutama untuk mendalami pakempakem lukisan pewayangan dan ornamen pewayangan Bali. “Agus les privat untuk itu. Beliau datang ke rumah seminggu dua kali dari bulan Februari 2022 sampai dengan Mei 2022,” tutur Agus. Les privat tentang seni lukis tradisi selama 4 bulan itu sepenuhnya ditanggung oleh Bapak Kapolri.

Gaya lukisan Agus adalah lukisan tradisional Bali. ia menyenangi melukis tradisi karena ia merasa di situ bakat seni lukisnya. “Karena di sini bakat dan skill Agus. Agus lebih suka dan nyaman aja kalau disuruh melukis tradisi pewayangan Bali,” katanya. Ketika melukis tradisi Bali, Agus sering menyukai melukis sosok-sosok seperti: Brahma, Wisnu, Siwa, Ganesha, dan Dewi Saraswati. Juga pewayangan Mahabaratha,
Ramayana, barong, Rangda, dan lani-lainnya. Di dalam proses melukis, Agus biasanya menggunakan perlatan melukis seperti: drawing pen, spidol, charcoal, pensil, cat minyak, kuas, kanvas, kertas. Tapi Agus
lebih dominan melukis tradisi pewayangan Bali dalam pewarnaan hitam putih saja menggunakan pensil 8B, konte Paris di atas kertas. “Ada beberapa karya yang Agus coba mengaplikasikan ke media lain, seperti
pelepah pohon pinang, kulit kambing dan batu alam. Dan finish-nya Agus menggunakan cat pilok clear,” ujar Agus menuturkan proses kreatifnya.

Dengan harga jual lukisannya yang tidak tinggi, banyak orang yang bisa mengoleksi karya-karyanya. Harga jual lukisan Agus berkisar antara Rp 500.000 hingga Rp 8.000.000. “Seingat Agus ada beberapa tokoh masyarakat Bali yang mengoleksi lukisan-lukisan Agus. Ada bapak menteri, pengusaha-pengusaha dari Jakarta, pejabatpejabat dan terutama Ibu Gubernur Bali yang sudah banyak mengoleksi lukisannya Agus,” tuturnya. Meski Agus kini memantapkan diri sebagai pelukis, namun ia juga menyadari bahwa beberapa orang berperan penting dalam perjalanan kariernya sebagai seniman. Agus tetap akan mengenang mereka yang pernah menjadi bagian dalam karier kesenimannya dalam membimbing, mengarahkan dan mensupport dirinya dalam dunia seni. Satu di antaranya yang tak henti-=henti mensupport dirinya dalam berkesenian adalah istri Gubernur Bali Ni Putu Putri Suatini Koster.

“Beliau (Ibu Ni Putu Putri Suatini Koster) sangat mendukung Agus dalam berkarya dan beliau sangat sungguh-sungguh membantu Agus dalam berkesenian. Beliau juga yang mempromosikan karya Agus sebagai anak difabel kepada masyarakat luas. Bagi Agus, peran beliau sangat lah penting, terutama
dalam karya-karya lukisan Agus,” tutur Agus mengenai peran Ibu Ni Putu Putri Suastini Koster dalam karier keseniannya. Sebagai pelukis tradisi, obsesi Agus demikian sederhana, yakni ia hanya ingin melestarikan seni lukis tradisi Bali.