Ketut Ardanen, Konsisten Pelajari Seni Merawat Songket

Melahirkan kain tenun, bukan hanya buah keterampilan turun-temurun bagi masyarakat Bali, melainkan juga bentuk identitas kultural dan artefak ritual. Di luar lingkup tradisi, kain songket Bali pun meroket sebagai benda cenderamata, atau bahkan ada yang memanfaatkannya sebagai benda ‘pamer’, bahwa si pemiliknya pernah melancong ke Bali. Bagi masyarakat dari sejumlah daerah bahkan negara lain di dunia, pernah menginjakkan kaki di Bali merupakan suatu kebanggaan. Karenanya, para kelana ini kemudian menjuluki Bali sebagai Pulau Dewata, Pulau Seni, Pulau Kahyangan, Pulau Surga hingga Pulau Cinta. Seiring dengan itu, beberapa bentuk kerajinan dan barang, salah satunya kain songket Bali, tak pernah surut menjadi daya tarik banyak orang. Bahkan belakangan, kain songket Bali mulai menerobos dunia fashion internasional. Di dalam negeri sendiri, songket yang awalnya hanya sekedar oleholeh khas Bali, kini terus berkembang sebagai komoditas di kancah fashion. Tentunya fashion yang berbasiskan budaya. Terlahir sebagai barang yang tergolong cukup berharga, serta memiliki karakter yang agak ‘rumit’, membuat songket Bali menuntut perawatan khusus kepada si pemiliknya. Seperti halnya I Ketut Ardanen, salah seorang pemerhati kerajinan Bali, sangat mencintai songket tersebut. Karena kecintaannya, Ardanen selama 7 tahun ini giat menekuni bagaimana cara merawat songket dengan benar, supaya kain bisa tetap bertahan lama. Pemilik usaha Baliwa Collection yang mengoleksi beberapa kain songket purba itu, mengatakan bahwa ia memiliki konsep untuk mengubah kain songket menjadi lebih mudah dirawat, tanpa mengubah motif songket itu sendiri. “Saya hanya mengubah warna songket yang berasal dari bahan kimia menjadi warna alami dan tidak luntur. Saya matangkan lagi warnawarna itu, dan ini butuh waktu yang sangat panjang,” ujarnya. Di ruang kerjanya Baliwa Collection yang berlokasi di Jalan Noja 1 Gang IV A No.1A Denpasar, Ketut Ardanen yang telah menekuni ‘resep’ pengawetan warna itu dalam hitungan tahun, mengaku melakukan hal tersebut untuk membuat songket menjadi semakin berharga dan bisa dikoleksi sepanjang masa. “Kita harus berani melakukan, karena songket mempunyai nilai yang sangat tinggi. Jadi di sini saya berupaya bagaimana caranya untuk bisa mengubah songket yang seharga Rp 1,2 juta bisa terlihat lebih apik dan beda dari yang sebelumnya, sehingga orang yang menggunakan menjadi lebih nyaman,” ujarnya, bersemangat. Selama ini masyarakat di Bali mengenal songket itu sebagai kain yang kaku dan hanya digunakan pada pada saat-saat tertentu saja, seperti upacara pernikahan dan ritual adat lainnya. Tetapi dengan tekadnya mempelajari songket ini, Ketut Arda telah berhasil mengubah songket yang sebelumnya sangat jarang digunakan oleh masyarakat, kini menjadi lumrah untuk dipakai busana. “Sekarang mulai banyak warga yang menggunakan kain songket dalam berbagai kegiatan. Selain memang karena agak ‘lemuh’, juga mereka tidak lagi takut luntur,” ujar Ketut Ardanen, yang karena skillnya sempat memikat perhatian Ny Putri Suastini Koster, istri Gubernur Bali Wayan Koster. Bunda Putri, demikian panggilan akrabnya, membenarkan bahwa dirinya kini telah kepincut untuk lebih memperhatikan dan mendorong kepiawaian yang dimiliki Ketut Ardanen. “Ketut Ardanen telah membuat inovasi yang sangat berarti bagi keberadaan kain tradisional Bali yang dipandang perlu untuk dilestarikan keberadaannya. Dia melakukan itu tanpa mengurangi makna dan keindahan dari songket itu sendiri,” ujar Bunda Putri, berbangga. Sejak memiliki kemampuan mengawetkan kain songket, Ketut Ardanen menjadi semakin banyak ‘diluruk’ pelanggan yang antara lain para pemilik salon ternama di Bali, selain juga dari warga masyarakat lainnya. Ketut Ardanen mengaku menjual koleksi songketnya dengan harga yang sesuai, alias tidak terlalu tinggi dari harga normalnya. “Ini saya lakukan agar para pelanggan terkesan bukan karena mahal, tetapi karena kualitasnya yang bagus,” katanya sambil melempar senyum yang khas. Ketut Ardanen menyebutkan bahwa semua kain songket yang dikoleksi di Baliwa Collection bukan hasil produksinya sendiri, melainkan membeli dari para perajin atau penenun. “Saya tidak bisa menenun dan membuat motif, tetapi hanya sebagai pemerhati seni dan pencinta songket,” ucapnya, merendah. Karena saking cintanya, Ketut Ardanen kemudian berupaya untuk merubah serta membuat inovasi baru supaya songket itu menjadi lebih bagus dan gampang dirawat. Songket yang dikoleksi di Baliwa Collection dibandrol dengan harga sekitar Rp 1,9 hingga Rp 15 juta. Selama menekuni usaha ini Ketut Ardanen mengatakan tidak ada kendala di bidang pemasaran maupun produksi, tetapi satu hal yang dari dulu membuat dirinya termasuk para penenun cukup gerah, yakni adanya para penjiplak yang begitu liar. “Mereka dengan mudahnya menjiplak motif songket yang harganya puluhan juta, dan itupun dikerjakan dengan susah payah, tetapi sangat gampang diduplikasi menggunakan mesin dan dibordir. Ini sangat mengganggu kami,” ujarnya, geram. Ia menyebutkan, kain bordiran menjadi begitu laku karena harganya yang memang jaub lebih murah, juga belum banyak masyarakat yang paham dengan nilai estetika songket tradisional, yang pengerjaannya begitu rumit. Sehubungan dengan itu, ia mengajak para pembeli untuk tidak hanya tahu harga murah, namun lebih melihat dari nilai ektetika dan ‘kesakralan’ dari songket tradisional itu sendiri. “Mari kita bersama-sama ambil bagian dalam upaya melestarikan songket yang mempunyai nilai estetika yang sangat tinggi, peninggalan leluhur kita,” katanya. Ia juga berharap masyarakat Bali selain tetap mampu melestarikan, juga mencintai dan dapat menggunakan songket dengan cara baik dan benar. (TI)