Jangan Sampai Produk Tenun Kita Diklaim Orang Lain

Melewati sejarah yang panjang, ada beragam kisah yang melatari perjalanan wastra di Pulau Dewata. Bagaimana melalui helaian kain tradisional ini, mampu menuturkan keluhuran budaya nenek moyang di era lampau. Melewati detak waktu yang terus berlalu, tentu keberadaan kain tradisional diharapkan tidak akan tinggal cerita di masa mendatang. Sekarang ini, di Bali masih dapat dijumpai perajin tenun di berbagai sudut wilayah. Para penenun ini masih eksis bertahan di tengah sejumlah kendala yang menghadang. Mereka ini tetap berpegang teguh untuk melestarikan budaya, dengan fokus berkiprah di bidang sandang. Menenun. Ada songket. Tenun ikat, sering disebut endek. Ada dobel ikat seperti gerinsing di Tenganan. Serta kain tenun rangrang, yang berasal dari Nusa Penida. Kain rangrang ini sempat sangat populer. Booming luar biasa. Seiring dengan itu, produksi kain rangrang ini sempat tidak terkendali beberapa tahun lalu. Ini dikarenakan peminatnya sangat membludak, sehingga terjadi produksi besarbesaran, keluar dari jalur kualitas lias asal bikin, yang penting tampil dengan motif rangrang. Adanya permintaan yang sangat tinggi, membuat pelaku usaha yang hanya mengejar keuntungan semata, membuat rangrang dari bahan kain pabrik. Bukan lagi hasil tenunan. Kondisi ini pada akhinya membawa dampak buruk bagi keberadaan kain rangrang. Kain yang sebelumnya sempat melangit itu, perlahan redup karena diproduksi massal tanpa harus memperhatikan kualitas. Meski demikian, tenun rangrang tetap merupakan warisan leluhur yang semestinya kita jaga. Karenanya, mari kita bangkitkan lagi kualitasnya melalui tangan-tangan terampil para perajin yang ketika menenun disertai lantunan doa dan didahului dengan sesajian canang sari sebagai ketulusan permohonan restu pada Hyang Widhi. Dengan demikian, proses pekerjaan menenun akan dihayati dengan kepenuhan rasa. Kerja yang fokus, tulus dan lurus, sehingga menghasilkan kain tenun yang ‘metaksu’. Inilah kesejatian budaya, yang terwujud lewat kain. Ini yang mesti dijaga. Dan ada yang patut diluruskan tentang persepsi penggunaan seragam kain tradisional. Misalnya, ada perhelatan acara dan panitia ingin menggunakan bahan pakaian atau kostum yang seragam. Makna seragam di sini jangan lantas disamaratakan sebagai baju dengan bahan kain yang motif dan warnanya sama persis. Tidak berbeda sedikitpun. Ini tidak bisa diterapkan pada kain tenun tradisional, karena sifatnya ‘limited edition’. Pada saat pembuatannya itu, melalui proses pencelupan warna alam. Usai pencelupan pertama, dilanjutkan pencelupan berikutnya. Hasil akhirnya belum tentu menghasilkan warna yang sama, antara lembar kain satu dengan lainnya. Kalau dikerjakan secara tradisional, artinya bukan produk pabrikan, sangat susah sekali menghasilkan gradasi warna yang sama. Kalau biru, ada gradasi warna yang beda-beda sedikit. Namun yang patut diperhatikan, adalah kesamaan motif. Ini yang mestinya jadi patokan. Kalaupun disepakati warnanya adalah biru, biar saja ada yang biru terang, ada biru agak gelap, biru laut dan lainnya. Karena kita tidak bisa ‘mendikte’ warna pada pembuatan kain tradisional. Ini mesti dimaklumi dan diterima. Jangan karena menginginkan pembuatan kostum yang sama persis, lantas memesan produk di luar yang memang pengerjaannya merupakan ‘mass product’. Mungkin hasilnya seperti yang dikehendaki, yakni sama persis. Akan tetapi, jika kita mengambil langkah ini, artinya perlahan-lahan mematikan perajin tradisional. Padahal mereka itu yang bekerja keras menjaga tradisi wastra Bali, mengapa upayanya tidak kita hargai ?. Sesungguhnya, tugas utama kita adalah melestarikan dan mengembangkan budaya. Ketika ada pengembangan terkait kemajuan teknologi, kita tidak berarti menolaknya mentah-mentah. Tapi alihkanlah. Sebagai ilustrasi, ketika ada upacara adat, pertahankan untuk menggunakan kain tradisional karya perajin kita sendiri. Cintai produk dalam negeri, pakai produk buatan perajin kita sendiri. Menyikapi kain yang merupakan hasil kemajuan, dapat diformat menjadi busana jadi. Ketika ada undangan acara, busana jadi atau ‘ready to wear’ itu dapat digunakan. Apabila kita kompak dan konsisten untuk menggunakan kain tenun karya perajin kita sendiri, tentu perajin akan langgeng bergelut dengan profesinya karena permintaan selalu ada dari masyarakat. Jangan sampai kita mengabaikan kekayaan budaya yang kita miliki sejak beratus tahun silam, yang merupakan warisan leluhur. Tahutahu kita abai, nanti ada orang lain tertarik, mempelajari, dan mengembangkan, lantas mengklaim sebagai produk budaya di daerah lain. Jangan sampai hal ini terjadi. Malah, semoga nanti akan terbangkitkan kembali spirit swadesi seperti orang tua kita dulu, yang jika ingin menenun, diawali dengan menanam kapas. Baru memintal benang, hingga tercipta kain. Ini konsep yang mesti diseriusi, artinya menghidupkan budaya di bidang sandang mulai dari hulu hingga hilir.(md)