Workshop Tata Rias dan Busana Tradisional Bali

Fenomena tata rias dan busana tradisional Bali saat ini tengah menjadi perbincangan masyarakat Bali. Apalagi pemerintah Provinsi Bali telah membuat Peraturan Gubernur Bali Nomor 79 Tahun 2018 tentang Hari Penggunaan Busana Adat Bali. Mengacu dengan hal tersebut Dinas Kebudayaan mengadakan workshop Tata rias dan busana adat tradisional pada hari Sabtu (22/6) bertempat di Gedung Ksirarnawa Art Center. Berlandaskan dengan aturan tersebut, Dinas Kebudayaan Provinsi Bali mensosialisasikan kepada OPD di Pemerintah Provinsi Bali tak terkecuali Diskominfos Provinsi Bali dengan menghadirkan para narasumber yang ahli di bidangnya.

Hal pertama disampaikan oleh Dr. A.A. Anom Mayun K. Tenaya, S.Sn.,M.Sn yang akrab disapa Gung Mayun ini membawakan materi terkait pakem tata rias dan busana tradisional bali di setiap kabupaten/kota. Menurutnya, saat ini pakem yang ada di setiap kabupaten/ kota telah memudar alias langka ditemukan lagi dikarenakan pergeseran jaman. Padahal tata rias dan busana adat tradisional bali sangat banyak memiliki keragaman ciri khasnya. “Ciri khas dari setiap kabupaten/kota memiliki keunikannya masing- masing, seperti tata bagian pusungan, Gianyar ada namanya pusung tanduk, di Klungkung terdapat Pusungan Kletek Mandel, pusung tanduk juga terdapat di kabupaten Tabanan namun dari segi bentuk berbeda, Karangasem dan Buleleng dinamakan Pusung Tagel namun yang membedakan, Buleleng membuat pusungan tersebut dibawa naik tidak seperti Karangasem” jelasnya. Gung Mayun berharap agar nilai estetika dan keindahan dari tat arias dan busana adat tradisional haruslah dipertahankan, guna mempertahankan hal tersebut perlu adanya pelatihan dari para praktisi dan membuat standar tata rias dan Busana Tradisional Bali modifikasi tradisional maupun modern.

Disisi lain, penjelasan mengenai peragaan busana adat dengan pembagian yaitu busana kerja,busana tradisional bali (ke pura), dan busana yg telah mengalami modifikasi. Dr. Cokorda Abinanda Sukawati, M.Sn dengan panggilan Cok Abi menghadirkan model peragaan busana untuk memberikan hal nyata bahwa bagaimana sebenarnya berbusana Adat Bali sesuai dengan jenisnya. “ 3 contoh model peragaan ini adalah berbeda jenisnya, Untuk busana ke pura standar dari panjang kebaya adalah dibawah pinggul. Bentuk kebaya kartini dan lengan panjang dengan warna kebaya yang polos. 1 model lagi yang meragakan busana kundangan yang dimodifikasi tetapi tidak meninggalkan pakem tradisional Bali, dengan model kamen duyung. Untuk busana kerja pakaian kartini menggunakan kain katun dengan hiasan rambut bisa dicepol biasa dan untuk yang rambut pendek dapat disisir kebelakang diberi spray sedikit” jelasnya. Cok Abi menambahkan terkait kata seksi dalam busana adat modifikasi, menurutnya seksi itu tidak haram melainkan indah, yang haram adalah berbusana vulgar. Selain hal itu Cok Abi menyarankan untuk berbusana kerja sebaiknya nyaman dan mudah digunakan bekerja dan penggunaan warna itu haruslah yang soft tidak perlu berwarna putih karena kebaya warna putih digunakan ke pura.

Dr. Cok Istri Ratnakoa Sudharsana, S.Sn.,Ms.Si selaku moderator menutup workshop ini dengan berharap agar melalui Pergub Nomor 79 Tahun 2018 kita dapat melestarikan busana tradisional Bali. Workshop ini pun diakhiri dengan foto bersama dengan para model peragaan dan narasumber.